Senin, 29 Maret 2010

pengajaran hubungan Islam Universal dan Islam Lokal

Islam Universal dan Islam Lokal dalam Proses Pendidikan

>> Wednesday, June 17, 2009

A. Pendahuluan
Dengan memandang pesantren dari luar, maka menghubungkan pesantren dangan istilah modern seolah mejadi sesuatu yang ambigu. Bagaimana tidak, di dalam benak kepada kita untuk mendefinisikan mengenai istilah pesantren justru terkenal sebagai lembaga tertua di Indonesia selalu teridentikkan dengan kata tradisional. Kata ini kemudian include dengan istiah kampung, kuno dan tentunya tidak modern. Nah, perilaku para kyai dan santri seperti inilah merupakan suatu ikhtiyat dalam menerima masuknya gelombang budaya baru. Kemudian realitas seperti ini , diterapkan sampai pada perilaku terkecil, seperti tidak diperkenankannya seorang santri mendengarkan radio, televisi, juga jarangnya ada buku-buku umum, majalah, komik. Semacam seolah makin mengukuhkan keterbelangan pesantren dengan modernitas .
Pesantren adalah dua sendiri dan modernitas adalah dunia lain. Tapi apa benarkah hubungan keduanya memang terpisahkan oleh tembok seperti itu? Dalam sejarah pendidikan Islam secara universal kita akan mencoba untuk melakukan analisis untuk menjawabnya kemudian kesimpulan itu kami deduksikan dalam proses pendidikan Islam lokal di Indonesia dan mengambil sampel pesantren untuk mencari hubungan yang ada.


B. Pembahasan
1. Proses Pendidikan Islam Universal
Menyoroti asal usul pendidikan Islam haruslah disertai dengan pemahaman tentang motivasi awal proses belajar mengajar yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah dengan penekanan pada periode awal. Sebagai bukti terdapat kaitan erat antara belajar dan penggerak utamanya. Ketika Islam sebagai suatu agama menempatkan ilmu pengetahuan pada status yang sangat istimewa. Allah akan meninggikan derajat mereka yang beriman diantara kaum muslim dan mereka yang berilmu .
Penggerak utama dari wahyu inilah yang sangat memotifasi muslim dalam belajar. Selain itu mereka belajar juga dalam rangka mengembangkan fitrah mereka. Ini berpedoman bahwa pendidikan Islam secara universal yaitu bahwa manusia dilahirkan secara fitrah (HR. Muslim), karena itu pengembangan fitrah-fitrah harus dilakukan dengan ajaran agama Islam (wahyu) sebagaimana dalam QS: an-Nahl:89 .
Proses perkembangan pendidikan islam secara universal pada masa Islam klasik abad pertengahan memperlihatkan adanya transformasi dari masjid ke madrasah. Selanjutnya setelah masa kejumudan pada abad ke-19 banyak negara Islam melakukan modernisasi sebagai akibat dari pengaruh Barat.
Pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam dimulai di Turki. Semangat yang ada di Turki ini kemudian menular pada beberapa kawasan lainnya, terutama seluruh wilayah kekuasaan Turki Ustmani di Timur Tengah. Ada dua kebijakan fundamental yang dilakukakn terkait dengan pengelolaan kelembagaan pendidikan, yaitu pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa dan penghapusan sistem madrese dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.
Selain Mustafa Kemal Ataruk, di Mesir Muhammad Ali Pasya juga melakukan pembaharuan. Pembaharuan Ali Pasya ini berlanjut hingga ke Gamal Abdul Naser yang menghapuskan sistem madrasah dan kuttab.
Bentuk modernisasi dalam Islam membentuk polar sendiri, di sisi lain ada suatu gerakan yang mengatasnamakan pembaharuan. Islam yang menyebar keseluruh dunia bercambur dengan budaya lokal mulai dimasuki oleh tradisi, pemikiran, ideologi, dan mazhab baru yang muncul sebagai proses dialektika kesejarahan manusia modern, ada sejumlah umat yang merasa Islam sudah dikotori oleh faktor eksternal (sesuatu di luar Islam). Yang pada gilirannya memunculkan gerakan pemurnian yang mengarah pada pemberantasan terhadap tradisi keberagamaan masyarakat.

Watak seperti ini sejatinya mencerminkan betapa Islam sebagai agama tidak boleh dimasuki paham-paham lain di luar Islam. Karena itu, tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad Ibn Abd al-Wahhab gencar melakukan pemurnian Islam dalam jargon pembaruan Islam. Paham seperti ini terus mengeksiskan diri dalam bentuk gerakan baru, gerakan baru ini memetakan bentuk-bentuk pendidikan dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh para organisasi pembaharuan tersebut.
2. Proses Pendidikan Islam Lokal
Masyarakat Indonesia dengan tingkat kemajemukan sangat tinggi baik etnik, budaya, ras, bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Secara spesifik pendidikan agama di tuding telah gagal menjalin keragaman melalui pendidikan yang melampui sekat-sekat agama. Pendidikan agama seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama.
Padahal keragaman sosial budaya, ekonomi dan aspirasi politik dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyakarat dan bangsa indonesia. Namun demikian keragaman tersebut yang seharusnya menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum nampaknya belum dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita.
Dalam tingkat lokal di Indonesia, pendidikan Islam mengalami pergeseran sebagai akibat dari kolonialisme dan kontak dengan budaya luar. Pemerintah kolonial Belanda di Indonesia mendirikan volkschoolen , walaupun sekolah ini kebanyakan gagal karena tingginya angka putus sekolah dan mutu pengajaran yang amat rendah, tapi banyak kalangan pesantren di Jawa yang akomodatif terhadap modernisasi semacam itu.Sikap akomodatif itu dikarenakan:
1. Sekolah rakyat dalam kenyataannya telah melahirkan sebagaian masyarakat pribumi menjadi terdidik.
2. Untuk menimbangi dan menjawab kolonialisme dan kristenisasi.
3. Beberapa kalangan tradisional pesantren mengambil sikap akomodatif dengan mendirikan madrasah di dalam pesantren.
Kemudian karena kontak intellektual dari luar terutama Timur Tengah banyak yang mendirikan Organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, Mathla’ul Khoir dan sebagainya yang banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern yang kebanyakan dari lembaga tersebut adalah lembaga kombinasi antara model pendidikan Barat dan Islam .
3. Analisa
Determisme historis telah membentuk suatu gerakan demi mewujudkan kembali kejayaan Islam. Hal ini mengacu pada cerita sukses Islam sebagai agama kosmopolit sejak zaman Nabi saw, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah, dan Turki Utsmani. Meskipun globalisasi wilayah Islam tidak lagi seperti pada zaman keemasannya, dengan sistem kekhalifahan Islam (nizham al-Islam) dari semenanjung Arab hingga daratan Eropa, kini memori sejarah itu telah memberikan motivasi kuat untuk melakukan perubahan menuju Islam global dalam bentuknya yang paling ekstrem melalui penaklukan doktrinal. Yakni, memberikan justifikasi teologis bahwa model dan cara beragama masyarakat muslim di wilayah non-Arab sebagai tidak asli dan tidak murni. Tak heran jika Islam selalu didakwahkan dalam terminologi ‘Islam Kafah’ untuk menjustifikasi agenda puritanisme. Sehingga, ketika ditemukan ajaran-ajaran agama lokal dianggap sebagai sinkretis, tidak beradab, antikemajuan, kumuh, dan tidak otentik. Karena itu, yang dilakukan adalah mengganti seluruh ritual lokal menjadi ritual Islam. Tak heran jika praktik seperti ini disebut Islam global .
Gerakan pembaharuan yang berkiblat dari Mekkah telah melahirkan suatu gerakan besar di Indonesia. Sekembalinya dari Arab mereka menjustifikasi budaya lokal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, mereka mendirikan lembaga pendidikan yang bernuansa seperti diatas dan mengajarkan doktrin-doktrin mereka. Apa yang mereka maksud sebetulnya baik tapi melahirkan efek negatif seperti yang dikemukakan Samsul Ma’arif bahwa; bentuk pendidikan semacam itu pada akhirnya hanya mengantarkan murid-muridnya memiliki cara pandang yang sempit dan eklusif alias picik. Karena memang dalam proses pendidikannya tidak di ajarkan untuk berbeda pendapat lebih-lebih untuk menggali nilai-nilai perbedaan dalam agama, budaya dan etnik .
Satu kelompok lagi yang terjebak realisme praktis yaitu; kelompok yang mengatasnamakan modernisasi. Mereka ini umumnya adalah orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan di Barat dan ingin mencontoh kemajuan di Barat. Sama seperti kelompok yang pertama, kelompok yang ini juga ingin merombak kembali pemahaman atas Islam tapi bukan kembali ke belakang tapi lebih maju ke depan yaitu dengan modernisasi ala Barat. Dua mainstream pendidikan seperti di atas sangat mewarnai pendidikan Islam di Indonesia.
Mencari autentisitas Islam menjadi sangat sulit dan bahkan tidak mungkin mengingat pluralitas pengalaman, tantangan, dan problem yang dihadapi umat manusia di zaman dan tempat yang berbeda. Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama telah mengalami historisasi sesuai dengan karakter penganutnya (umat manusia) yang hidup di dalam alam kesejarahan. Sehingga, jargon kembali kepada generasi Salaf (Alquran dan Hadis) mesti ditafsir ulang sesuai dengan konteks zamannya. Dengan demikian, benturan antara Islam sebagai agama global, universal, kosmopolit dan lokalitas, bukan dalam pengertian penaklukan terhadap tradisi keberagamaan masyarakat lokal. Melainkan, melakukan akomodasi positif dalam tiga arah, antara agama pendatang (Islam), moderisasi Barat dan agama lokal. Inilah yang mesti menjadi karakter Islam di Indonesia dalam setiap perubahan zaman, sehingga aspek-aspek lokalitas dan yang pribumi dapat menjadi bagian dari praktik keberagamaan masyarakat di mana pun berada.
Pendidikan Islam yang lokalis, yaitu yang mengakomodir kebijaksanaan budaya lokal serta berwawasan global adalah perlu agar tidak terjerembab puritanisme dan tidak terlalu mengadah pada modernisme. Atau dengan kata lain act locally think globally. Sebagaimana pada masa awal Islam datang ke Indonesia yang bisa dnegan mudah diterima masyarakat. Islam di terima di Indonesia karena beberapa faktor terutama karena islam itu tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah dituruti oleh segala golongan.Bahkan untuk masuk Islam cukup dengan kalimat syahadat.

C. Kesimpulan
Proses pendidikan Islam secara universal itu di mulai dengan pendidikan di masjid, suffah dan sebagainya. Kemudian pada masa pertengahan di mulailah dengan lebih sitematis dalam bentuk lembaga madrasah. Pada masa ini mencapai kejayaannya.
Kemudian setelah masa kemunduran, pada abad ke 19 muncullah gerakan pembaharu Islam yang ingin memperbaharui pendidikan Islam. Pembaharuan ini ada dua macam yaitu dengan mengadopsi sekularisme dan mencontoh kemajuan di Barat. Sedangkan yang satunya lagi ingin mengembalikan ke suasana pada masa kejayaan Islam dengan menghilangkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran murni Qur’an dan Hadist.
Dalam ruang lingkup lokal keIndonesiaan, lembaga pendidikan Islam yang pertama yaitu pesantren dalam perjalanan awalnya adalah sebagai lembaga nomor satu di Indonesia, Kemudian setelah sekolah umum yang didirikan kolonial .

D. Penutup
Syah Waliyullah al-Dihlawi, pemikir Islam India mengemukakan pendapat lain tentang adanya Islam universal dan Islam lokal. Ajaran tentang Tauhid (pengesaan Tuhan) adalah universal yang harus menembus batas-batas geografis dan kultural yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Sementara itu ekspresi kebudayaan dalam bentuk tradisi,cara berpakaian, arsitektur, sastra dan lain-lain memiliki muatan lokal yang tidak selalu sama. .
Proses pendidikan Islam universal terhadap kebudayaan lokal adalah kenyataan empiris yang dapat dilihat pada sejumlah ekspresi budaya. Adanya dua mainstream yang menolak ekspresi tersebut dan ada yang membantunya, pada dasarnya merupakan representasi dari adanya dua sikap dalam merespons dinamika hubungan antara Islam dengan lokalitas.
Eksrepsi lokalitas Pendidikan Islam di Indonesia terhadap Universalitas sangat beragam. Sehingga sutu golongan yang hanya menetapkan sumber al-Quran dan Hadist saja tidaklah cocok.. Indonesia majemuk, kaya budaya dan tradisi. Sepanjang tidak bertentangan, meski tidak disebut di dalam Al-Quran atau sunah, tidak apa-apa.

http://adzraiq.blogspot.com/2009/06/islam-universal-dan-islam-lokal-dalam.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kirim komentarmu ya? aku tunggu.